Diberdayakan oleh Blogger.

Setiap Detik yang Terlewati Adalah Sejarah diDetik Berikutnya

.
RSS

Resume Buku: Emotional Intelligence



Emotional Intelligence
Pengarang: Daniel Goleman
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996
Jumlah Halaman: 520 halaman

Kecerdasan Emosional: mengapa EI lebih penting daripada IQ
Banyak orang beranggapan bahwasannya IQ merupakan faktor genetik yang tidak mungkin diubah oleh pengalaman hidup, dan bahwa takdir kita dalam kehidupan ditentukan oleh faktor ini. Pendapat tersebut mengabaikan masalah yang lebih menantang: Apa yang bisa kita ubah untuk menolong anak-anak kita agar memiliki nasib kehidupan yang lebih baik? Faktor-faktor manakah yang lebih berperan, misalnya, kapan orang ber-IQ tinggi gagal dan orang ber-IQ rata-rata menjadi amat sukses? Perbedaannya sering kali terletak pada kemampuan-kemampuan yang disini disebut kecerdasan emosional yang mencangkup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Kemampuan-kemampuan ini, sebagaimana nanti dapat diajarkan kepada anak-anak, untuk memberi mereka peluang yang lebih baik dalam memanfaatkan potensi intelektualnya.
Dibalik kemungkinan ini muncul kemungkinan moral yang mendesak. Yaitu saat-saat ketika jalinan masyarakat tampaknya terurai semakin cepat, ketika sifat mementingkan diri sendiri, kekerasan, dan sifat jahat nampaknya menggerogoti sisi-sisi baik kehidupan masyarakat kita. Disini, alasan untuk mendukung perlunya kecerdasan emosional bertumpu pada hubungan antara perasaan, watak, dan naluri moral. Semakin banyak bukti bahwa sikap etik dasar dalam kehidupan berasal dari kemampuan emosional yang melandasinya. Misalnya, dorongan hati merupakan medium emosi; benih semua dorongan hati adalah perasaan yang memunculkan diri dalam bentuk tindakan.
Semua emosi, pada dasarnya, adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Akar kata emosi adalah movere, kata kerja Bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e-“ untuk memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal yang mutlak dalam emosi. Bahwasannya emosi memancing tindakan, emosi merupakan  akar dorongan untuk bertindak terpisah dari reaksi-reaksi yang tampak dimata. Kita memiliki dua pikiran, yang satu merupakan tindakan pikiran emosional (merasa), yang lain merupakan tindakan pikiran rasional (berfikir). Emosi kita memiliki pikirannya sendiri, pikiran yang dapat mempunyai pandangan tersendiri tanpa dipengaruhi pikiran rasional. Paradigma lama menganggap ideal berarti adanya nalar yang bebas dan tarikan emosi atau dengan kata lain hanya meninjau dari segi rasionalis. Paradigma baru mendorong kita untuk menyesuaikan kepala dengan hati. Untuk melakukan hal itu dengan baik dalam kehidupan kita berarti bahwa kita terlebih dahulu harus memahami dengan lebih tepat apakah artinya menggunakan emosi secara cerdas.
Fakta-fakta neurologis berperan dalam membentuk kemampuan dasariah manusia untuk mempertahankan hidup yang disebut kecerdasan emosional; misalnya, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan emosi; untuk membaca perasaan terdalam orang lain; untuk memelihara hubungan sebaik-baiknya. Ciri-ciri “kecerdasan emosional”: kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir; berempati dan berdo’a. Banyak bukti yang memperlihatkan bahwa orang yang secara emosional cakap, yang mengetahui dan menangani perasaan mereka dengan baik, dan yang mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan, entah itu dalam hubungan asmara dan persahabatan atau dalam menangkap aturan-aturan tak tertulis yang menentukan keberhasilan dalam politik organisasi. Karena orang yang memiliki kecakapan emosional dapat dengan mudah ber-empati serta menempatkan diri. Dengan demikian akan tercipta suasana yang mendukung dalam lingkungan sosialnya. Suasana hati yang bahagia, dapat memperkuat kemampuan untuk berfikir dengan fleksibel dan dengan lebih kompleks, sehingga mempermudah menemukan pemecahan masalah. Ini menyiratkan bahwa salah satu cara untuk menolong seseorang tetap berfikir jernih ketika dihadang masalah adalah dengan melontarkan lelucon kepada mereka. Dalam artian positif, dimana lelucon yang mendukung terciptanya suasana hati yang lebih baik. Bukan lelucon yang membuat mereka semakin tertekan dengan nada sindiran atau sebagainya.
 Warisan genetik memberi kita serangkaian muatan emosi tertentu yang menentukan emosi kita. Tetapi temperamen bukanlah takdir. Pelajaran-pelajaran emosi yang kita peroleh semasa kanak-kanak, dirumah dan disekolah, akan membentuk sirkuit-sirkuit emosi, membuat kita cakap atau tidak cakap dalam hal dasar-dasar kecerdasan emosional. Ini berarti masa kanak-kanak dan remaja merupakan peluang terbuka yang penting untuk mengerahkan kebiasaan-kebiasaan emosional yang esensial yang akan menentukan kehidupan kita. Bahaya yang menghadang orang yang gagal menguasai wilayah emosinya ketika tumbuh dewasa dimulai dari depresi atau hidup penuh kekerasan hingga gangguan makan dan penyalahgunaan obat-obatan. Generasi yang lemah emosionalnya cenderung lebih kesepian dan pemurung, lebih berangasan dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih implusif dan agresif. Dengan demikian dapat disimpulkan setinggi apapun IQ mereka, jika EI mereka rendah akan menghambat atau bahkan menghentikan perkembangan mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu pemecahannya adalah pandangan baru yang menitikberatkan pada apa yang dilakukan sekolah-sekolah dalam mendidik murid-muridnya, mengajarkan kepintaran sekaligus kepekaan perasaan.
Dalam buku ini pengarang bertindak sebagai pemandu perjalanan menempuh wawasan ilmiah menuju wilayah emosi, perjalanan yang bertujuan memperoleh pemahaman lebih dalam akan momen-momen paling membingungkan dalam kehidupan kita sendiri dan dunia sekitar kita. Sasaran perjalanan ini adalah memahami apa arti dan bagaimana membawa kecerdasan kedalam emosi.
Buku ini sangat mudah dipahami dengan contoh nyata seputar rendahnya kontrol emosi dalam kehidupan masyarakat yang kemudian diulas hingga terdapat titik temu alasan serta pemecahannya. Pada bagian awal buku, kita diajak mengenal apa kegunaan emosi, kemudian di bab selanjutnya dibahas ciri-ciri kecerdasan emosi. Di bab kedua ini kita diajak mengoreksi diri kita maupun mengoreksi sekeliling kita, mengenai kapan orang yang pintar itu menjadi orang yang bodoh. Di bab ketiga dan keempat, pengarang cenderung memandu pembaca untuk memahami cara penerapan kecerdasan emosional serta kesempatan penerapan pembelajaran emosi. Dan di bab terakhir, pengarang menjabarkan apa saja kerugian buta emosi dan pentingnya pendidikan emosi serta pelaksanaannya dalam pembelajaran disekolah.
Pada dasarnya pengarang ingin menegaskan bahwasannya kecerdasan IQ bisa saja tidak berarti bilamana seseorang memiliki pikiran yang tidak jernih (EI yang rendah) dalam menghadapi permasalahan. Kadangkala emosi yang meledak dan tidak terkendali mengalahkan rasionalitas. Buku ini menunjukkan siapa saja dapat mengembangkan bakatnya/kemampuannya tanpa memandang tinggi rendahnya IQ, melainkan berdasar pada pengembangan EI. Sedangkan menurut Goleman, EI dapat diperoleh dan diperkuat atau dikembangkan oleh siapa saja tanpa memandang batas usia.
Buku ini sangat disarankan untuk orang yang berkecimpung dalam dunia pengajaran (Guru dan Dosen) karena dalam buku ini terdapat cara pengajaran dan pemahaman emosional pada anak-anak dan remaja.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar